Rabu, 06 Mei 2015

Strategi Peningkatan Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

Beberapa isu penting terkait lingkup aset negara/daerah dimulai dengan kegiatan perencanaan dan penganggaran. Sering dianggarkan sesuatu yang tidak dibutuhkan di tingkat bawah (Satuan Kerja). Tahap pengadaan yang rawan dengan korupsi sehingga banyak aparat yang enggan jadi pejabat pengadaan atau Unit Layanan Pengadaan (ULP). Tahap Pemeliharaan  alokasinya cukup selalu incremental meskipun aset yang sudah tidak berfungsi atau hilang, hal ini karena dalam penghapusan dan pemindahtanganan aset-aset pemerintah tidak ditatausahakan dengan tertib. Demikian juga ketika pembukuan aset dalam perpektif dalam jurnal akuntasi bisa berubah fungsi, maka pembenahan manajemen aset mutlak diperlukan.
Sebelum masuk ke proses manajemen asset, di dalam melaksanakan pencatatan, inventarisasi dan revaluasi asset harus ada strategi manajemen asset agar koordinasi antara program dan pelaksanaan dapat terkoordinasi dengan baik. Istilah Strategic Asset Management atau SAM digunakan untuk menggambarkan sebuah siklus pengelolaan aset, yaitu mulai dari proses perencanaan dan diakhiri dengan pertanggungjawaban/pelaporan aset. Keberhasilan SAM seringkali dikaitkan dengan keberhasilan menghemat anggaran sebagai dampak dari keberhasilan mengintegrasikan proses perencanaan dan pengelolaan aset. Pada dasarnya, manajemen asset di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang jelas yaitu UUNo.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara yang ditindaklanjuti PP No.27/2014 tentang Pengelolaan BarangMilik Negara/Daerah Pasal 85 menyebutkan agar dilakukan inventarisasi atas BMN/D (barang milik negara/daerah), khusus berupa tanah dan/atau bangunanyang berada di kementerian/lembaga minimal sekali dalam 5 tahun. Sedangkan untuk selain tanah dan/atau bangunan hal itu merupakan kewenangan dan menjadi domain/tanggungjawab masing-masing Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Barang. Oleh sebab itu, Pemerintah melalui Menteri Keuangan selaku BUN (Pengelola Barang), menginstruksikan kepada Dirjen Kekayaan Negara, sebagai  unit organisasi yang vital dalam pengelolaan BMN, agar menjadi garda terdepan mewujudkan best practices tata kelola barang milik/kekayaan negara dengan langkah pencatatan, inventarisasi dan revaluasi aset/kekayaan Negara yang diharapkan akan mampu memperbaiki/menyempurnakan administrasi pengelolaan BMN yang ada saat ini.
Inventarisasi seluruh barang milik negara yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia mutlak harus dilakukan agar terpotret secara jelas nilai aset/kekayan negara yang saat ini berada di penguasaan masing-masing kementerian/lembaga negara. Selanjutnya setelah itu dilakukan tahap penilaian ulang (revaluasi) aset/kekayaan negara, khususnya yang berupa tanah dan/atau bangunan oleh Pengelola Barang guna mendapatkan nilai wajar atas aset tetap tersebut. Inventarisasi dan reevaluasi barang milik negara/daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari proses manajemen aset negara itu sendiri.

Dari 87 entitas di Kementerian/Lembaga namun masih 65 Kementerian/Lembaga yang mendapatkan opini BPK dengan catatan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada tahun 2013. Yang patut digarisbawahi adalah kementerian/lembaga ini sebagian besar adalah kementerian lembaga baru dibentuk yang asset atau BMN nya secara kuantitas tidak terlalu besar. Hal ini tentu saja mempermudah dalam pengelolaan dan penatausahaan atas aset atau BMN/D yang mereka miliki. Perjalanan untuk menciptakan manajemen aset yang modern memang masih memerlukan waktu yang panjang, akan tetapi tidak mustahil untuk dilakukan apabila semua unsur yang telah disebut di atas mau melaksanakan apa yang menjadi tanggungjawab masing-masing dengan amanah dan komitmen yang tinggi. Bagaimanapun juga barang milik / kekayaan negara harus dikelola oleh SDM yang profesional dan handal, karena hal tersebut menjadi kebutuhan yang vital dan strategis pada masing-masing kementerian/lembaga negara. Penataan pengelolaan barang milik negara/daerah yang sesuai dengan semangat good governance tersebut, saat ini menjadi momentum yang tepat karena mendapat dukungan politik dari pemerintah. Pentingnya inventarisasi dan revaluasi aset/kekayaan negara yang ada saat ini sebagai bagian dari penyempurnaan manajemen aset negara secara keseluruhan. Tuntutan penerapan good governance dalam manajemen aset/kekayaan negara/daerah saat ini sudah tidak dapat ditunda-tunda lagi.Tentunya hal tersebut akan membuka cakrawala kita bersama tentang urgensi dan pentingnya kegiatan inventarisasi dan reevaluasi BMN/D itu, sehingga dapat diharapkan mampu meningkatkan status opini LKPP yang semula masih disclaimer menjadi unqualifiedopiniona atau Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sudah saatnya kita berubah menjadi negara yang mampu menerapkan fungsi penganggaran sebagaimana yang telah ditetapkan menurut peraturan yang telah dibuat agar akuntabilitas keuangan pemerintah dapat dipertanggungjawabkan.

bagan pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara
http://www.4shared.com/photo/y_8azihYba/Pendelegasian-Kekuasaan.html

Optimalisasi Aset Negara/Daerah

Terbitnya Peraturan Pemerintah No.27 tahun 2014 yang mencabut PP No.06 tahun 2006 jo PP 38 tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Negara/Daerah yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan No.78 tahun 2014 tentang tata cara pelaksanaan Pengeloaan Barang Milik Negara di Kementerian/Lembaga dan Permendagri Nomor 17 tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah yang ruang lingkupnya mulai dari Perencanaan kebutuhan sampai dengan Pelaporan sesungguhnya sudah dapat memberikan guide/petunjuk pelaksanaan yang cukup memadai. Namun fakta dilapangan masih membuktikan bahwa K/L/D/I yang diserahi fungsi sebagai pengguna barang tidak sesuai dengan harapan. Permasalahan klasik seperti : manajemen Sumber Daya Manusia, ketidak pedulian dalam pemeliharaan asset dan penatausahaan BMN/D yang Karut Marut, hal ini kita dapat ketahui  catatan atas opini Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (disclaimer) hampir setiap tahun masih didominasi masalah Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

Pengelolaan Barang khususnya Milik Daerah yang baik tentunya akan memudahkan penatausahaan asset daerah dan merupakan sumberdaya penting bagi pemerintah daerah sebagai penopang utama pendapatan asli daerah. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah untuk dapat mengelola aset secara memadai dan akurat. Dalam hal pengelolaan aset, pemerintah daerah harus menggunakan pertimbangan aspek perencanaan kebutuhan, penganggaran, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan penyaluran, penggunaan, penatausahaan, pemanfaatan atau penggunaan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian, pembiayaan dan tuntutan ganti rugi agar aset daerah mampu memberikan kontribusi optimal bagi pemerintah daerah yang bersangkutan.

Masih teringat di benak kita musibah bendungan Situgintung di Ciputat yang menelan korban 100 orang tewas dan 100 lainnya sampai dengan sekarang belum ditemukan. Musibah tersebut tidak hanya menelan korban jiwa namun juga kerugian material yang tidak sedikit akibat sapuan banjir bandang. Lalu apa hubungannya manajemen aset dengan kejadian di atas? Hubungannya adalah kalau saja bendungan Situgintung yang menjadi aset daerah di kelola (terus dipelihara dan diaudit) dengan baik, kecil kemungkinan bobolnya tanggul Situgintung terjadi dan kerugian yang dideritapun dapat diminimalkan. Kalau bendungan/tanggul di Jakarta dan sekitarnya menjadi aset daerah dan dipelihara dengan baik, kejadian situgintung-situgintung lainnya tidak akan terulang. Kalau saja semua pihak, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mau bersungguh-sungguh melaksanakan modernisasi manajemen aset, maka seharusnya aset pemerintah dan daerah bisa memberikan nilai tambah bagi semua pihak termasuk masyarakat sebagai stakeholder.

Kita juga dapat melihat dan belajar dari pengalaman kerjasama antara PT. PAM Jaya dengan Mitra Swasta hampir seluruh aset yang dimiliki PAM JAYA diserahkelolakan kepada mitra swastanya tanpa dikenakan biaya apapun. Artinya, pihak swasta menggunakan berbagai aset yang dimiliki oleh PAM JAYA (sebagian besar adalah aset produksi dan distribusi) tanpa membayar biaya atas penggunaan aset tersebut. Perjanjian ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi PT. PAM Jaya dan Pemerintah. Lebih parahnya, pada titik tertentu, masyarakat pengguna air dibebankan atas pembelian asset yang dilakukan pihak swasta. Selain memanfaatkan aset yang sudah ada, mitra swasta juga melakukan pengadaan aset baru yang terdiri atas aset bergerak baru dan aset tidak bergerak baru yang hak miliknya ada pada mitra swasta, namun beban pembiayaannya secara penuh dikompensasikan secara finansial kepada harga tarif kemahalan yang terus dibayar oleh pengguna air.

Sebenarnya masalah di atas adalah cuplikan kecil dari buruknya manajemen aset dari pemerintah kita. Sebagaimana diketahui bahwa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2006 s/d 2008 oleh Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan disclaimer/tidak memberikan pendapat apapun. LKPP merupakan rapor pemerintah dalam mempertanggungjawabkan amanat yang dipercayakan rakyat, utamanya yang terkait dengan penggunaan anggaran/dana publik, juga kepada stakeholder lainnya (lembaga donor,dunia usaha, dll). Salah satu catatan yang diberikan BPK terhadap pemerintah terkait masalah ini adalah buruknya manajemen aset oleh pemerintah.

bagan manajemen aset :
http://www.4shared.com/photo/aJz6bIfmce/manajemen-aset.html

Sinergi Kemenkeu-Polri dalam Mengamankan Kekayaan Negara

Jakarta - Kementerian Keuangan menjalin kerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam pengelolaan pengamanan keuangan dan kekayaan negara.

"Hari ini Kementerian Keuangan dan Polri menandatangani Nota Kesepahaman sebagai awal koordinasi untuk pengamanan keuangan dan kekayaan negara serta penegakan hukum," kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Gedung Kemenkeu, Jakarta pada Kamis.

Penandatanganan tersebut dihadiri juga oleh Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo serta jajaran pejabat Kemenkeu dan Polri.

Kerja sama ini, kata Menkeu, termasuk koordinasi pelaksanaan tugas dan fungsi Kemenkeu dan Polri, serta koordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

Sementara, unit yang terlibat dari Polri adalah Badan Intelijen Nasional, Badan Pemeliharaan Keamanan Negara dan Asisten Kapolri bidang Sarana Prasarana.

Agus menambahkan bahwa dengan adanya Nota Kesepahaman tersebut pegawai Kemenkeu dari pusat hingga daerah diminta untuk berinisiatif untuk melaporkan kepada polisi bila ada indikasi pelanggaran hukum.

Kapolri Timur Pradopo mengatakan bahwa Polri hanya membantu operasi pengamanan kekayaan negara dan penegakkan hukum pidana bila terjadi pelanggaran sedangkan pengawasan internal tetap menjadi wewenang Kemenkeu.

Secara garis besar, koordinasi dan kerja sama dalam Nota Kesepahaman tersebut meliputi sosialisasi peraturan, kebijakan serta kewenangan tugas dan fungsi kedua belah pihak, kemudian pengamanan penerimaan negara dan penggunaan aset negara.

Selanjutnya penegakan hukum di bidang perpajakan, bea cukai, pasar modal dan lembaga keuangan, kekayaan negara, pengurusan piutang dan lelang serta bidang keuangan negara lain, tindak lanjut hasil pemeriksaan pegawai oleh aparatur Kemenkeu yang diindikasikan melakukan tindak pidana.

Kemudian rencana pemanggilan, permintaan keterangan dan pengumpulan bukti oleh Polri kepada aparatur Kemenkeu dan dukungan kelancaran tugas dan fungsi pengelolaan keuangan negara. (sumber : AntaraNews)

Kemenkeu usulkan RUU Pengelolaan Kekayaan Negara

Jakarta - Kementerian Keuangan mendorong percepatan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) pengelolaan kekayaan negara, setelah tertunda pembahasannya sejak prakarsa pengajuan aturan hukum ini pada tahun 2000.

"RUU ini penting untuk pengawasan dan pengendalian pengelolaan kekayaan negara, penyusunan neraca kekayaan negara serta penguatan aspek fiskal penerimaan negara," kata Direktur Hukum dan Humas Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Tavianto Noegroho dalam rilis pers yang diterima di Jakarta, Jumat.

Ia menambahkan RUU ini dapat mengatur mekanisme penyelesaian permasalahan antar sektor pemerintahan, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah, serta antar pemerintah dengan pihak lain terkait pengelolaan kekayaan negara.

Menurut Tavianto, permasalahan itu merupakan salah satu dari persoalan dalam pengelolaan barang milik negara, karena ketiadaan RUU tersebut ikut menyebabkan belum optimalnya penerimaan negara dari pengelolaan sumber daya alam.

Selain itu, investasi pemerintah dan pengelolaan barang milik negara maupun daerah belum dapat memberikan sumbangan signifikan bagi penerimaan negara dan daerah, serta keseimbangan antara utilisasi kekayaan negara dan perlindungan hak negara dan masyarakat yang belum terjamin.

Pembahasan RUU ini telah dilakukan antara Kementerian Keuangan dengan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup serta Badan Pertanahan Nasional.

Sedangkan naskah akademis telah diuji dalam berbagai konsultasi publik dan Focus Group Discussion serta berbagai seminar dengan kalangan akademisi dan praktisi, bahkan studi praktik internasional telah dilakukan ke Swedia, Selandia Baru dan Afrika Selatan.

"Dalam waktu dekat, pemerintah akan melakukan harmonisasi dan finalisasi RUU Pengelolaan Kekayaan Negara sebelum disampaikan dan dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)," kata Tavianto.

Selain mengatur pengelolaan sumber daya alam yang dikuasai negara, RUU ini diharapkan dapat mengatur pengelolaan kekayaan yang dimiliki negara berupa Barang Milik Negara atau Daerah serta investasi pemerintah dalam bentuk kekayaan negara dipisahkan.

Pemerintah mengharapkan RUU ini dapat menjadi prioritas pembahasan dengan DPR, sehingga apabila telah menjadi UU akan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pengaturan pengelolaan kekayaan negara yang komprehensif, serta menjamin keseimbangan hak-hak negara, mitra investor dan masyarakat. (sumber : AntaraNews)

Tertib Penatausahaan BMN, Efektif Pengelolaannya

Pekanbaru - Bertempat di Aula Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Sumbar dan Kepri, Bidang Pengelolaan Kekayaan Negara (PKN) Kanwil DJKN Riau, Sumbar dan Kepri (Kanwil RSK) menyelenggarakan Rekonsiliasi BMN eks Kepabenanan Dan Cukai. Seluruh satuan kerja Bea dan Cukai, yang ada di Propinsi Riau dan Sumbar Kegiatan menghadiri kegiatan tersebut. Rekonsilasi pada 10-11 September 2014 bertujuan untuk menertibkan penatausahaan BMN yang akan meningkatkan efektifitas pengelolaan BMN.

Kepala Bagian Umum (Kabu) Kanwil DJBC Sudaryanto sambutannya menyampaikan permintaan maaf, karena pelaksanaan rekonsiliasi BMN eks Bea dan Cukai yang seharusnya dilaksanakan di bulan Juli 2014 baru bisa terselenggara pada bulan September ini. Selaku Koordinator wilayah, Sudaryanto menegaskan agar DJKN jangan sungkan dan ragu untuk berkoordinasi dalam rangka kelancaran pelaksanaan rekonsiliasi. Kabu Kanwil DJBC menambahkan bahwa Kanwil DJBC Riau dan Sumatera Barat siap mendukung pelaksanaan rekonsiliasi tepat waktu. Sudaryanto juga menyarankan agar pelaksanaan rekonsiliasi mendatang disesuaikan dengan jadwal rekonsiliasi data di lingkungan DJBC sehingga lebih efisien. Tawaran yang disampaikan Kabu Kanwil DJBC tersebut disambut baik oleh Kepala Seksi PKN I Kanwil DJKN Riau, Sumbar, dan Kepri, Maulina Fahmilita.

Dalam sambutannya Kasi PKN I menyampaikan kewajiban rekonsiliasi dan pemutakhiran data BMN eks BC serta urgensi pelaksanaan rekonsiliasi yang tepat waktu. Maulina menjelaskan bahwa pengelolaan BMN eks Bea dan Cukai akan berjalan efektif, jika proses penatausahaannya menjadi perhatian semua pihak. Karena dengan pencatatan dan pelaporan yang tertib, tindaklanjut dalam pengelolaan seperti usulan penjualan, penghapusan ataupun pemusnahan dan penetapan status terhadap aset eks bea dan cukai. Lebih lanjut Kasi PKN I menghimbau agar semua petugas BMN eks bea dan cukai aktif untuk menyampaikan update data BMN eks bea dan cukai dan pada masa datang dapat melaksanakan rekonsiliasi tepat waktu.

Rekonsiliasi dilanjutkan dengan pelaksanaan pemutakhiran data dan rekonsiliasi aset eks bea dan cukai. Kegiatan ini diikuti 9 satker termasuk Kanwil DJBC Riau dan Sumbar. Hasil pemutakhiran data dan rekonsiliasi dimaksud memberikan gambaran potensi aset eks bea dan cukai di wilayah Riau dan Sumbar ± 13M namun belum termasuk BMN dari KPPBC Teluk Bayur dan Pekanbaru, karena prakiraan nilai pada SKEPnya belum dihimpun. Peruntukan yang telah ditindaklanjuti ± 5M dengan pemohon teraktif berasal dari KPPBC Tembilahan. Masih terdapat beberapa persetujuan dengan tindaklanjut pemusnahan yang belum direalisasikan pihak Ditjen Bea dan Cukai.

Kegiatan pemutakhiran dan rekonsialiasi data BMN eks bea dan cukai diakhiri dengan penandatanganan berita acara tingkat Kantor Wilayah. Maulina mengarisbawahi agar petugas BMN eks Bea dan cukai memelihara ADK yang sudah terbentuk dan selalu memperbaharui data BMN eks bea dan cukai secara tepat waktu dan tepat data. (Maulina Fahmilita)

Manajemen Kekayaan Negara yang Baik

Secara umum, manajemen aset baik di perusahaan maupun Negara meliputi aktivitas: perencanaan (planning), perolehan (acquisition), pemanfaatan (utilization), dan penghapusan (disposal)

Di dalam suatu manajemen aset yang baik, menurut buku “Asset Management: Advancing the State of the Art Into the 21st Century Through Public-Private Dialogue” yang diterbitkan oleh. Federal Highway Administration and the American Association of State Highway and Transportation Officials tahun 1996, keempat aktivitas tersebut dilaksanakan dengan berpegang pada tiga pilar utama yaitu:

1. Keputusan yang menyangkut manajemen aset harus didasarkan pada evaluasi atas alternatif-alternatif yang ada dengan mempertimbangkan total biaya yang dikeluarkan, manfaat, dan risiko dari aset tersebut. Contoh: Saat suatu unit kerja pemerintah memerlukan kendaraan dinas sebagai alat untuk melayani masyarakat, maka unit kerja tersebut harus mempertimbangkan semua alternatif pengadaan kendaraan dinas. Selama ini, sebagian besar pengadaan kebutuhan kendaraan dinas di unit kerja pemerintah adalah melalui “membeli” tanpa mempertimbangkan alternatif untuk “menyewa”. Seharusnya, unit kerja tersebut mempertimbangkan dengan cermat apakah lebih murah “membeli” atau “menyewa”. Jika setelah dipertimbangkan biaya dan manfaatnya ternyata lebih murah “menyewa” maka mengapa unit kerja tersebut harus melakukan “pembelian” kendaraan dinas?

2. Kepemilikan, pengendalian / pengawasan, pertanggungjawaban, dan pelaporan suatu asset harus ditata dengan jelas, dikomunikasikan kepada pengguna (stakeholders), dan diimplementasikan dengan baik. Jika pilar ini kokoh maka tidak akan ada lagi kasus lepasnya aset Negara kepada pihak-pihak yang sebenarnya tidak berhak maupun kasus kerugian yang dialami Negara akibat pelaporan nilai yang tidak wajar dalam neraca pemerintah.



3. Aktivitas manajemen aset harus berada di bawah kerangka kebijakan manajemen aset yang terintegrasi. Tanpa adanya kebijakan yang terintegrasi maka yang terjadi adalah upaya tambal-sulam kebijakan dari penguasa baru yang menggantikan kebijakan penguasa lama.

Beberapa ciri atau kriteria dari keberhasilan manajemen aset adalah:

1. Pengelola mengetahui barang atau aset apa saja yang dimiliki / dikuasainya.

2. Pengelola mengetahui berada di mana saja barang atau aset tersebut.

3. Pengelola mengetahui siapa yang bertanggung jawab dan memanfaatkan suatu aset tertentu.

4. Pengelola mengetahui bagaimana pemanfaatan dari setiap aset yang dimiliki / dikuasainya.

5. Pengelola mengetahui berapa nilai dari aset yang dimiliki / dikuasainya.

6. Pengelola melakukan review secara reguler atas semua aset yang dimiliki / dikuasainya apakah masih sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Sudahkah kekayaan negara di Indonesia di masa lalu dikelola sesuai dengan ketiga pilar utama tersebut sehingga keenam kriteria keberhasilan pengelolaan kekayaan negara dipenuhi? Nampaknya kegiatan pengelolaan kekayaan negara di Indonesia di masa lalu belum sepenuhnya sesuai dengan ketiga pilar tersebut sehingga masih saja terjadi masalah-masalah yang telah penulis kemukakan di atas.


Era Baru Pengelolaan Kekayaan Negara di Indonesia

            Indonesia sedang menuju era baru dalam pengelolaan kekayaan Negara melalui antara lain diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah dan dibentuknya unit kerja baru di bawah Departemen Keuangan Republik Indonesia yang khusus menangani pengelolaan kekayaan Negara yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Mampukah Indonesia membenahi centang perenangnya pengelolaan Kekayaan Negara Indonesia dengan adanya perubahan ini
 
Kekayaan Negara Indonesia
Ruang lingkup kekayaan negara di Indonesia secara umum meliputi dua hal yaitu: barang yang “dimiliki” negara dan barang yang “dikuasai” negara. Kedua domein tersebut bersumber dari UUD 1945. Untuk domein privat bersumber dari pasal 23 UUD 1945 sedangkan domein publik dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Yang dimaksud dengan barang “milik” negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau perolehan lain yang sah (pasal 1 PP nomor 6 tahun 2006) sedangkan barang “dikuasai” negara adalah bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 33 ayat (3) UUD 1945).
Memandang cakupan dari kekayaan negara yang begitu luas, dapat dipahami bahwa pengelolaan kekayaan negara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia tidaklah mudah. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan gagalnya pengelolaan kekayaan negara di masa lalu.
Upaya yang telah dilakukan sebelum terbitnya PP nomor 6 tahun 2006 dirasakan masih belum berhasil menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan pengelolaan barang “milik” negara. Apalagi kalau bicara mengenai barang “ dikuasai” negara yang belum dikelola dengan baik sehingga negara Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam tapi sebagian besar rakyatnya masih miskin.
Sebenarnya, potensi kekayaan negara Indonesia yang sangat besar dan beragam menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat berpotensi untuk memimpin Asia di bidang ekonomi seandainya saja seluruh kekayaan negara tersebut dikelola dengan baik. Namun, akibat salah kelola maka Indonesia terpuruk dan mengalami kesulitan untuk bangkit kembali.

peta strategi kekayaan negara :
\http://www.4shared.com/photo/dzaEGE-tce/Peta-Strategi-Ditjen-Kekayaan-.html

Bukti Nyata Kacaunya Pengelolaan Kekayaan Negara

Kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan pada Desember 2002 merupakan satu bukti nyata kacaunya pengelolaan kekayaan Negara. Lemahnya pengawasan dan kurangnya perhatian dari pemerintah dianggap sebagai biang dari lepasnya kedua pulau tersebut. Lemahnya posisi tawar pemerintah dalam pemberian konsesi pertambangan juga sering kali terjadi sehingga kekayaan alam kita lambat laun hancur dan dikeruk habis oleh negara lain sementara kompensasi yang diterima Indonesia tidaklah sebanding dengan kerusakan yang terjadi. Belum lagi kasus dimana kekayaan negara yang tidak jelas status hukumnya seperti kasus klaim dari pemerintah Cina atas sejumlah aset di Indonesia.

Singapura negara tetangga kita telah mengeduk secara besar-besaran pasir laut kita untuk tujuan memperluas wilayah negaranya. Diatas wilayah perluasan baru hasil reklamasi dari pasir Indonesia tersebut didirikan pusat bisnis dan pertokoan, apartemen dan juga resor. Pembangunan fisik yang menggunakan bahan baku utamanya pasir itu selanjutnya disewa atau dibeli kembali oleh orang-orang Indonesia yang berduit dengan harga mahal. Kita tahu, akibat dari pengedukan pasir besar-besaran, Indonesia berpotensi kehilangan pulau-pulau terdepan yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga. Tanpa harus bersusah payah mencari sebabnya, tidak lain karena pengelolaan kekayaan negara belum memberi manfaat sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Penguasaan Tambang Emas Indonesia yang merupakan tambang emas terbesar di dunia oleh Freeport McMoran.Total pemberian pemasukan PT.Freeport kepada Republik Indonesia hanya 10-13% pendapatan bersih di luar pajak atau 46 juta dollar (460 miyar rupiah). Bandingkan dengan pemasukan yang didapat oleh Freeport McMoran yang mencapai 380 juta dollar (hampir 3,8 trilyun). Penguasaan Blok Cepu oleh Exxon Mobile. Pembagian pendapatan yang masih simpang siur di kalangan publik. Ada beberapa kabar yang beredar, diantaranya mengatakan bahwa Indonesia hanya mendapatkan pajak dari perusahaan tersebut. Bisa dikatakan dari hasil industri perusahaan tersebut, negara hanya mendapatkan 0%.

Salah satu hal yang kerap dituding sebagai penyebab Perekonomian Indonesia sulit berkembang adalah kacaunya pengelolaan Kekayaan Negara di Indonesia.Beberapa contohnya antara lain:
  • Landasan hukum yang belum menyeluruh dan terpadu
  • Inefisiensi pemanfaatan aset Negara
  • Belum adanya upaya inventarisasi seluruh aset Negara
  • Lokasi yang tersebar dan hak penguasaan yang tidak jelas
  • Koordinasi yang lemah
  • Pengawasan yang lemah
  • Konflik kepentingan
  • Mudahnya penjarahan aset Negara
TUJUAN UTAMA PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA

Tujuan utama pengelolaan kekayaan negara dimanapun adalah untuk melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, kekayaan negara adalah alat bagi negara untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.

Kekayaan Negara adalah alat pemerintah untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Pengelolaan Kekayaan Negara yang efisien, efektif dan optimal adalah kunci keberhasilan pemerintah dalam melayani masyarakat. Landasan hukum yang kokoh dan terintegrasi sangat diperlukan untuk mengelola kekayaan negara sehingga tercipta kepastian hukum. Kepemimpinan yang kuat dan dukungan dari staf pengelola kekayaan negara, khususnya Direktorat Jendral Kekayaan Negara, sangat dibutuhkan guna menjamin tercapainya tujuan pengelolaan kekayaan negara. Dukungan dan peran aktif masyarakat juga ikut menentukan keberhasilan pengelolaan kekayaan negara.

Senin, 04 Mei 2015

Administrasi Keuangan

Administrasi Keuangan, adalah suatu “truisme”, atau paling sedikit suatu kenyataan, bahwa biaya yang tersedia bagi suatu negara yang sedang giat melakukan pembangunan, seperti Indonesia, selalu terbatas dibandingkan dengan banyaknya kegiatan pembangunan yang perlu dibiayai. Oleh karena itu, semua usaha harus dilakukan supaya biaya yang tersedia, baik yang bersumber dari pendapatan di dalam negeri berupa pajak, tabungan masyarakat, tabungan Pemerintah dan pendapatan negara dari hasil ekspor, maupun yang berupa pinjaman, dikelola penggunaannya sedemikian rupa sehingga dengan biaya yang terbatas itu diperoleh hasil yang maksimal. (Dr, Sondang P. Sagian, M,P.A. Ph. D : Administrasi Pembangunan, Gunung Agung, Jakarta, 1983, hal 156).
            Secara lebih terperinci dapat dikemukakan beberapa masalah yang sering terjadi dalam bidang administrasi keuangan, seperti :
  1. Masalah terbatasnya biaya yang tersedia dan atau mungkin tersedia untuk membiayai usaha-usaha pembangunan yang ingin dilaksanakan demi percepatan peningkatan taraf hidup seluruh rakyat.
  2. Masalah peningkatan kepercayaan rakyat terhadap legitimasi pemerintahannya yang bertindak selaku pelaksana utama kegiatan-kegiatan pembangunan.
  3. Masalah peningkatan kepercayaan pihak negara-negara asing, badan-badan internasional terhadap kemampuan dan kesungguhan aparatur pemerintah untuk menyerap dan menggunakan bantuan dan atau pinjaman yang diberikan demi kepentingan rakyat banyak.
  4. Masalah tidak sesuainya ketentuan parundangan yang mengatur keuangan negara pada umumnya.
  5. Masalah peningkatan kemampuan administratif dari aparat pemerintah untuk mempelopori, membina dan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan.
  6. Masalah perimbangan keuangan nagara antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dikaitkan dengan prinsip ekonomi.
  7. Masalah sistem administrasi keuangan yang pada umumnya tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan, belum berbicara tentang ketidak-sesuaian sistem administrasi keuangan yang ada dengan tuntutan pembangunan.
  8. Masalah masih terdapatnya kekurangan kesadaran rakyat untuk memenuhi kewajiban keuangannya terhadap negara, seperti terdapatnya kecenderungan mengelakkan kewajiban membayar pajak.
  9. Masalah sistem pelaporan yang sering hanya menunjukkan legalitas penggunaan biaya dan kurang menunjukkan efisiensi penggunaan biaya tersebut.
       Ilmu administrasi keuangan membahas segenap rangkaian kegiatan penataan penyusunan anggaran, penentuan sumber biaya, cara pemakaian, pembukuan, dan pertanggungjawaban atas pembiayaan dalam kerjasama mencapai tujuan tertentu.
            Kelompok pengetahuan ini telah berkembang menjadi beberapa bagian yang cukup luas. Pertama ialah kelompok pengetahuan tentang penyusunan rencana pengeluaran dan penerimaan uang bagi kerjasama. Ini merupakan cabang pengetahuan administrasi keuangan yang disebut Penganggaran Belanja. Ilmu baru ini dikenal dengan nama “Planning-Programming-Budgeting System” yang terkenal dengan singkatan “PPBS”. Secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi Sistem Penganggaran-Pemrograman-Perencanaan. Tapi menurut makna dan isinya dapat diterjemahkan dengan Sistem Penganggaran Berdasarkan Program dalam rangka Suatu Analisa Sistem atau Sistem Penganggaran Berdasarkan Program dalam Rangka Suatu Perencanaan Tertentu. Secara lebih sederhana untuk mempermudah pemakaiannya dapat juga dipakai istilah Sistem Penganggaran Berdasarkan Program.
            Suatu segi lain dari administrasi keuangan adalah pencatatan segenap penerimaan dan pengeluaran biaya dalam kerjasama. Cabang pengetahuan lainnya dalam administrasi keuangan ialah yang berhubungan dengan pemeriksaan mengenai ketepatan tindakan-tindakan dalam bidang keuangan, ini lazim disebut dengan Pemeriksaan Keuangan.
            Unsur administrasi keuangan ini menitikberatkan pada tanggung jawab atas dana untuk berbagai penggunaan dengan kombinasi jenis-jenis pembiayaan yang terbaik, Administrasi keuangan menyangkut hal-hal berikut :
  • Berapa banyak jumlah dana yang diperlukan.
  • Dari mana sumber dana.
  • Kapan dana tersebut akan mulai digunakan.
    Kegiatan administrasi keuangan meliputi hal-hal sebagai berikut :
  • Perencanaan dan peramalan.
  • Mengkoordinasikan berbagai keputusan keuangan.
  • Berintegrasi dengan linkungan.
  • Pengawasan keuangan membuat catatan dan laporan tentang informasi keuangan.
        Agar lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan kegiatan administrasi keuangan, maka perlu dibentuk suatu pengawasan keuangan. Pengawasan keuangan adalah kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan rencana keuangan. Pengawasan keuangan bukan hanya sekedar mengecek aliran uang/dana, akan tetapi juga berhubungan dengan evaluasi rencana yang sedang dilaksanakan. 
           Dalam perkembangannya administrasi sering dikaitkan dengan menejemen keuangan. Dalam praktiknya, administrasi keuangan dan manajemen keuangan memiliki beberapa kesamaan. Di era globalisasi ini istilah manajemen keuangan lebih popular dari pada administrasi keuangan.
          Manajemen keuangan adalah pembelanjaan perusahaan yang dipelajari dari seginya seorang manajer keuangan. Manajemen keuangan bersangkutan dengan urusan keuangan, meskipun tidak semua yang berkaitan dengan uang menjadi monopoli manajemen keuangan. Manajemen keuangan dapat diartikan sebagai penetapan fungsi perencanaan dan pengawasan kedalam fungsi keuangan. (Walker, W. Ernest : Essentials of Financial Management, Prentice Hall, New Delhi, 1978, hal. 1-2).
           Sebagai pelengkap perlu ditekankan peranan yang dijalankan oleh seorang manajer keuangan. Fungsi yang disebutkan dibawah ini, kurang lebih merupakan penyederhanaan dari fungsi manajer keuangan yang pada hakekatnya sangat kompleks.
1.   Perencanaan keuangan (financial planning)
  • merencanakan peminjaman, apabila hal ini harus dilakukan
  • merencanakan dan membuat forcasing penerimaan dan pengeluaran
  • memberikan advis tentang pembayaran keuangan
  • menyusun laporan keuangan
2.      Pengelolaan uang kas (cash mamagement)
  • membuka rekening bank dan melekukan setoran (deposit)
  • mengatur kas kecil dan giro bank
  • mengatur pembayaran atas kewajiban yang jatuh temponya
  • menyelenggarakan catatan tentang transaksi kas
3.      Pengelolaan kredit (credit management)
  • pengaturan tagihan-tagihan
4.      Pengurusan surat berharga (security flotation)
  • mengatur pembayaran-pembayaran kembali pinjaman (angsuran)
  • menanda-tangani cek
       Salah satu cara menelaah dan mempelajari keadaan keuangan adalah dengan cara analisa rasio keuangan. Untuk membuat keputusan rasional yang sesuai dengan tujuan, seorang manajer finansial haruslah mempunyai alat-alat analisa tertentu. Analisa keuangan dilakukan baik oleh pihak luar (ekstern) maupun pihak dalam (intern). Bagi perusahaan sendiri, analisa terhadap keuangannya akan membantu dalam perencanaan perusahaan.
         Untuk menilai prestasi dan kondisi perusahaan, seorang analisis keuangan memerlukan ukuran-ukuran tertentu. Ukuran yang sering kali dipergunakan adalah rasio, yang menunjukkan hubungan antara dua data keuangan. Analisa dan penafsiran berbagai rasio akan memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap prestasi dan kondisi keuangan dari pada analisa terhadap data keuangan saja.
         Analisa rasio keuangan menyangkut dua jenis perbandingan. Pertama, analisis dapat membandingkan rasio saat ini dengan rasio-rasio di masa lalu dan yang diharapkan di masa yang akan datang untuk perusahaan yang sama. Dalam perbandingan dari waktu ke waktu, lebih baik dilakukan perbandingan data aslinya juga dan bukan semata-mata perbandingan rasio-rasio saja.
           Metode-metode perbandingan yang kedua adalah membandingkan rasio-rasio suatu perusahaan dengan perusahaan-perusahaan lain yang sejenis dan kira-kira sama ukurannya, atau dengan rata-rata industri pada saat yang sama. Perbandingan semacam itu memberikan pemahaman atas prestasi dan kondisi finansial perusahaan relatif terhadap industri.
            Pada umumnya berbagai rasio yang dihitung bisa dikelompokkan kedala empat tipe dasar :
  1. Rasio likuiditas, yang mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansial jangka pendeknya.
  2. Rasio leverage, yang mengukur seberapa jauh perusahaan dibelanjai dengan utang.
  3. Rasio aktivitas, yang mengukur seberapa efektif perusahaan menggunakan sumber dayanya.
  4. Rasio profitabilitas, yang mengukur efektivitas manajemen secara keseluruhan sebagaimana ditunjukkan dari keuntungan yang diperoleh dari penjualan dan investasi.

Pengertian dan Macam-Macam Pajak Daerah

A.    Pengertian Pajak
 
Menurut rochmat sumitro (1988:12)
”Pajak adalah iuran rakyat pada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat di tunjukkan dan yang di gunakan untuk membayar pengeluaran umum”. “Dapat di paksakan” mempunyai arti, apabila utang pajak tidak di bayar, utang tersebut di tagih dengan kekerasan, seperti surat paksa, sita, lelang dan sandera. Dengan demikian, ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah sebagai berikut.
  1. Pajak di pungut berdasarkan Undang-Undang
  2. Jasa timbal tidak di tunjukkan secara langsung
  3. Pajak dipungut oleh pemerintah,baik pemerintah pusat maupun  pemerintah daerah.
  4. Dapat di paksakan (bersifat yuridis)

Menurut Brotodiharjo,R (1982:2)
“Pajak adalah iuran rakyat kepada negara (yang dapat di paksakan) yang terutang oleh wajib pajak membayarnya berdasarkan peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat di tunjuk dan yang dapat di gunakan untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.

B.     Pajak Daerah
 
Menurut Tony Marsyahrul (2004:5)
“Pajak daerah adalah pajak yang di kelolah oleh pemerintah daerah (baik pemerintah daerah TK.I maupun pemerintah daerah TK.II) dan hasil di pergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan daerah (APBD)”.
Menurut Mardiasmo, (2002:5) : “Pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat di paksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di gunakan untuk membiayai penyelenggarakan pemerintah daerah dan pembangunan daerah”.

C.    Jenis-Jenis Pajak Daerah

Berdasarkan Undang-Undang No.34 Tahun 2000 jenis-jenis pajak daerah adalah
sebagai berikut

  1. Pajak Hotel.
  2. Pajak Restoran
  3. Pajak Hiburan
  4. Pajak Reklame
  5. Pajak Penerangan Jalan
  6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
  7. Pajak Parkir
D.    Karakteristik Pajak Daerah
  1. Pajak Hotel
Objek pajak hotel adalah setiap pelayanan yang disediakan dengan pembayaran di hotel. Objek pajak hotel berupa
  1. Fasilitas penginapan seperti gubuk pariwisata (cottage), Hotel,wisma,losmen dan rumah penginapan termasuk rumah kost dengan jumlah kamar 15 atau lebih menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan.
  2. Pelayanan penunjang antara lain : Telepon, faksimilie, teleks, foto copy, layanan cuci, setrika, taksi dan pengangkut lainnya disediakan atau dikelolah hotel
  3. Fasilitas Olahraga dan hiburan

Subjek pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel. Wajib pajak hotel adalah Pengusaha hotel. Dasar pengenaannya adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel dan tarif pajak ditetapkan sebesar 10%, masa pajak I (satu) bulan takwim, dan jangka waktu lamanya pajak terutang dalam masa pajak pada saat pelayanan di hotel.
  1. Pajak Restoran
Menurut Peraturan Daerah No. 29 tentang Pajak Restoran (2002:1), pajak restoran yang di sebut pajak adalah pungutan daerah atas pelayanan restoran. Objek Pajak yaitu setiap pelayanan yang disediakan dengan pembayaran di restoran. Subjek pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan restoran, Wajib pajak rastoran yaitu Pengusaha restoran dan tarif pajak di tetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
  1. Pajak Hiburan
Objek Pajak Semua Penyelenggaraan Hiburan berupa :
  1. Penyelenggara pertunjukan film di bioskop dengan tarif pajak sebesar 31%
  2. Pertunjukan kesenian tradisional, Pertunjukan sirkus, Pemeran seni, Pameran busana dengan tarif pajak 10%.
  3. Pergelaran Musik dan tarif ditetapkan sebesar 15%
  4. Karaoke ditetapkan sebesar 20%
  5. Permainan Bilyar ditetapkan sebesar 20%
  6. Pertandingan Olahraga ditetapkan sebesar 10%
Subjek pajak hiburan orang pribadi atau badan yang menonton atau menikmati hiburan. Wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan penyelenggara hiburan
  1. Pajak Reklame
Menurut Peraturan Daerah No.27 Tentang Pajak Reklame (2002:1), Pajak reklame yang selanjutnya disebut pajak adalah pungutan daerah atas penyelenggaraan reklame.
Objek Pajak ialah penyelenggara reklame seperti :
  1. Reklame Kain
  2. Reklame Melekat, Stiker
  3. Reklame Berjalan termasuk pajak kendaraan
  4. Reklame Udara
  5. Reklame Suara
  6. Reklame Film/Slide
  7. Reklame Peragaan
Subjek Pajak Reklame adalah Orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan atau memesan reklame. Tarif pajak ditetapkan sebesar 25%.

E.     Landasan Hukum Dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 Ayat (2), Segala Pajak Untuk Keperluan Negara Berdasarkan Undang-Undang.
Dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah adalah Undang-Undang No.18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah sebagaimana telah di ubah terakhir dengan Undang-Undang No.34 Tahun 2000.

Hukum Bisnis yang Berlaku di Indonesia

A. Pengertian Hukum Bisnis
 
Istilah “hukum bisnis” sebagai terjemahan dari istilah “Business Law” sangat banyak di pakai dewasa ini, baik di kalangan akademis maupun di kalangan para artikel. Meskipun begitu, banyak istilah lain yang sungguhpun tidak sama persis sama artinya, tetapi mempunyai ruang lingkup yang mirip-mirip dengan istilah hukum bisnis. Istilah-istilah terhadap hukum bisnis terebut sebagai berikut :
1. Hukum Dagang (sebagai terjemahan dari “Trade Law”)
2. Hukum Perniagaan (sebagai terjemahan dari commercial Law )
3. Hukum Ekonomi (sebagai terjemahan dari “economic law”)

Istilah “hukum dagang atau “hukum perniagaan” merupakan istilah dengan cakupan yang sangat tradisional dan sangant sempit. Sebab, pada prinsipnya kedua istilah tersebut hanya melingkupi topik-topik yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) saja. Padahal, begitu banyak topik hukum bisnis yang tidak diatur atau tidak lagi diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang (KUHD). Misalnya, mengenai perseroan terbatas, kontrak bisnis, pasar modal, merger dan akuisisi, perkreditan, hak atas kekayaan intelektual, perpajakan, bisnis internasional dan masih banyak lagi. Sementara dengan istilah “hukum ekonomi cakupannya sangat luas, berhubungan dengan adanya pengertian ekonomi dalam arti mikro dan makro, ekonomi pembangunan dan ekonomi sosial, ekonomi manajemen dan akuntansi, yang kesemuanya tersebut mau tidak mau harus di cakup oleh istilah “hukum ekonomi”. Jadi, kita dilihat dari segi batasan ruang lingkupnya, maka jika istilah hukum dagang atau hukum perniagaan ruang lingkupnya sangat luas. Karena itu, memang istilah yang ideal adalah “hukum bisnis” itu sendiri.
 
Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan istilah “hukum bisnis” itu ? sebagaimana diketahui bahwa istilah “hukum bisnis” terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu kata “hukum” dan kata “bisnis”. Banyak definisi sudah diberikan kepada kata “hukum” meskipun tidak ada 1 (satu) definisi pun yang dapat dikatakan lengkap dan menggambarkan arah arti hukum secara utuh. Sedangkan terhadap istilah “bisnis” yang dimaksudkan adalah suatu urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa (Abdurrachman, 1991:150), dengan menempatkan uang dari para entrepreneur dalam risiko tertentu dengan usaha tertentu dengan motif untuk mendapatkan keuntungan (Friedman, jack P., 1987:66).
 
Dengan demikian, yang dimaksud dengan Hukum Bisnis adalah suatu perangkat kaidah hukum yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa dengan menempatkan uang dari para entrepreneur dalam risiko tertentu dengan usaha tertentu dengan motif (dari entrepreneur tersebut) adalah untuk mendapatkan keuntungan tertentu.
 
Fungsi Hukum Bisnis adalah sebagai sumber informasi yang berguna bagi praktisi bisnis, untuk memahami hak dan kewajibannya dalam praktek bisnis, agar terwujud watak dan perilaku aktivitas di bidang bisnis yang berkeadilan, wajar, dan dinamis (yang dijamin oleh kepastian hukum).
 
2 Aspek pokok asas hukum bisnis :
  1. Aspek kontrak (perjanjian) yang menjadi sumber hukum utama dimana masing-masing pihak tunduk pada perjanjian yang telah disepakati bersama.
  2. Aspek kebebasan membuat perjanjian dimana para pihak bebas membuat dan menentukan isi dari perjanjian yang disepakati bersama.
Adapun yang merupakan ruang lingkup dari hukum bisnis ini, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Kontrak Bisnis
2. Jual beli
3. Bentuk-bentuk perusahaan
4. Perusahaan go public dan pasar modal
5. Penanaman modal asing
6. Kepailitan dan likuidasi
7. Merger dan akuisisi
8. Perkreditan dan pembiayaan
9. Jaminan hutang
10. Surat berharga
11. Perburuhan
12. Hak atas kekayaan intelektual
13. Anti monopoli
14. Perlindungan konsumen
15. Keagenan dan distribusi
16. Asuransi
17. Perpajakan
18. Penyelesaian sengketa bisnis
19. Bisnis internasional
20. hukum pengangkutan (darat, laut, udara, dan multimodal)
 
B. Sumber Hukum Bisnis Indonesia
 
Sumber hukum bisnis sesungguhnya sama dengan sumber hukum di Indonesia. Serupa dengan bidang hukum lainnya, sumber hukum bisnis dapat disebutkan sebagai berikut:
  • Peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan hukum yang berlaku, seperti: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan lain sebagainya.
  • Perjanjian atau kontrak, yaitu kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dalam transaksi bisnis. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa perjanjian atau kontrak berlaku sebagai Undang-Undang terhadap para pihak yang membuatnya.
  • Traktat, yaitu ketentuan dalam hubungan dan hukum internasional, baik berupa kesepakatan antara para pemimpin negara di dunia, peraturan dalam hukum internasional, pedoman yang dibuat oleh lembaga-lembaga dunia, dan lain sebagainya yang diberlakukan di Indonesia.
  • Yurisprudensi, yaitu keputusan hukum yang biasanya menjadi pedoman dalam merumuskan atau menjadi pertimbangan dalam penyusunan peraturan atau keputusan hukum berikutnya.
  • Kebiasaan-kebiasaan dalam bisnis, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh pelaku bisnis pada umumnya.
  • Doktrin, yaitu pendapat pakar atau ahli hukum yang berkaitan dengan hukum bisnis. Doktrin biasa pula disebut dengan pendapat para sarjana hukum.
Dalam hukum bisnis Indonesia terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan bagi transaksi bisnis. Diantara peraturan perundang-undangan tersebut, beberapa diantaranya memiliki saling keterkaitan satu sama lain. Berikut ini beberapa peraturan perundang-undangan dalam hukum bisnis di Indonesia, antara lain:
  • Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan
  • Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah dubah menjadi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
  • Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
  • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
  • Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
  • Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
  • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  • Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
  • Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.